| # | DATA | VALUE |
|---|---|---|
| 1 | 2011/12 | 16.4 |
| 2 | 2012/13 | 15.9 |
| 3 | 2015/16 | 14.5 |
| 4 | 2017/18 | 13.3 |
| 5 | 2019/20 | 11.9 |
| 6 | 2021/22 | 8.8 |
| 7 | 2022/23 | 6.8 |
OASEDATA - Selandia Baru telah mencatat penurunan signifikan dalam prevalensi merokok selama beberapa dekade terakhir. Pencapaian ini merupakan hasil dari kombinasi kebijakan pengendalian tembakau yang ketat dan pendekatan pengurangan bahaya, terutama melalui promosi vaping.
Sejarah merokok di Selandia Baru mencerminkan ketidaksetaraan yang mendalam berdasarkan etnisitas. Pada akhir 1700-an dan awal 1800-an, penjelajah, pemburu paus, dan pemukim memperkenalkan tembakau kepada suku Māori. Hal ini menyebabkan transmisi antar generasi perilaku merokok yang lebih tinggi di kalangan mereka dibandingkan dengan populasi Eropa. Sementara prevalensi merokok di kalangan wanita Eropa baru meningkat seratus tahun kemudian, suku Māori sudah lebih dulu terjebak dalam jeratan tembakau.
Langkah besar pertama Selandia Baru dalam mengatasi masalah ini terjadi pada tahun 1990 dengan diberlakukannya Smoke-Free Environments Act. Undang-undang ini mencakup larangan merokok di tempat kerja dalam ruangan, termasuk bar dan restoran mulai tahun 2004. Namun, langkah-langkah awal ini belum cukup untuk mencapai target ambisius penurunan prevalensi merokok menjadi 5% pada tahun 2025.
Pada tahun 2009, pasar vape mulai tumbuh di Selandia Baru, namun baru pada tahun 2015 pemerintah mulai serius memantau prevalensinya. Dengan berdirinya Electronic Cigarette Technical Expert Advisory Group pada tahun 2017, Selandia Baru mulai menyusun regulasi yang tepat untuk produk-produk vaping dan heat-not-burn. Keputusan pengadilan pada tahun 2018 yang menolak klaim Philip Morris mengenai produk ‘heat-not-burn’ mempercepat adopsi regulasi untuk produk-produk tersebut.
Kampanye ‘Vape to Quit Strong’ yang diluncurkan oleh pemerintah, serta situs informasi www.vapingfacts.health.nz, menjadi titik balik dalam upaya penurunan merokok. Kampanye ini didesain untuk mendukung perokok beralih ke produk yang dianggap jauh lebih aman dibandingkan rokok tradisional.
Dampaknya terlihat jelas dalam data terbaru: prevalensi merokok di Selandia Baru turun dari 16,4% pada tahun 2011 menjadi 6,8% pada tahun 2023. Di kalangan suku Māori, penurunan lebih mencolok, dari 37,7% pada tahun 2011/12 menjadi 17,1% pada tahun 2022/23. Prevalensi vaping harian meningkat dari 2,6% menjadi 9,7%, dengan sebagian besar pengguna adalah mantan perokok atau perokok yang juga menggunakan vape.
Upaya ini juga mencakup pendekatan yang lebih spesifik dan selaras dengan budaya, terutama untuk komunitas yang tertinggal seperti suku Māori. Program-program yang menggunakan bahasa dan citra yang relevan dengan budaya lokal terbukti efektif.
Selandia Baru kini berada di jalur yang tepat untuk mencapai target bebas asap rokok pada tahun 2025. Keberhasilan ini menjadi bukti bahwa kombinasi antara kebijakan pengendalian tembakau yang ketat dan pendekatan pengurangan bahaya dapat memberikan hasil yang signifikan dalam mengurangi prevalensi merokok. Negara ini menunjukkan bahwa melalui regulasi yang proporsional, dukungan masyarakat, dan komunikasi yang efektif, tujuan kesehatan publik yang ambisius dapat tercapai.
Andy Flores Noya
- Administrator