OASEDATA – Produk roti Aoka, yang selama ini dikenal murah dan lezat, kini berada di tengah pusaran kontroversi. Tuduhan mengenai penggunaan pengawet berbahaya, sodium dehydroacetate, dalam produk roti tersebut membuat banyak konsumen cemas dan berhati-hati. Meskipun demikian, PT Indonesia Bakery Family melalui Head Legal mereka, Kemas Ahmad Yani, menegaskan bahwa produk mereka aman dan telah memenuhi semua persyaratan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.

"Produk roti Aoka kami telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh BPOM. Semua bahan yang digunakan aman dan sudah diuji sesuai standar BPOM," tegas Kemas Ahmad Yani dalam keterangannya. Ia berharap masyarakat tidak mudah terpancing isu yang belum tentu benar dan tetap percaya pada keamanan produk yang telah diawasi oleh otoritas berwenang.

Namun, dampak dari isu ini sudah sangat terasa di kalangan pedagang. Aisyiah, seorang pedagang roti di Jakarta, mengungkapkan penurunan drastis dalam penjualan roti Aoka sejak isu ini mencuat. "Baru saja tadi ada yang mau beli Aoka, temannya malah menghalangi dia jangan dibeli. Akhirnya dia beli chiki saja sama kopi. Terus ibu-ibu yang biasanya beli langsung empat, sekarang nggak ada yang beli," kata Aisyiah kepada detikcom.

Aisyiah berharap isu ini segera mereda agar penjualan bisa kembali normal. "Lagipula kan juga sudah ada tanda BPOM-nya, kecuali nggak ada," tambahnya. Menurutnya, kepercayaan konsumen sangat penting dan tanpa kepercayaan tersebut, usaha kecil seperti miliknya akan sangat terpukul.

Sunarsih, pedagang lainnya, juga merasakan dampak yang sama. "Dari kemarin-kemarin sih memang yang laku Aoka ya. Kalau dibandingin sama roti-roti yang lain itu memang paling laris. Karena harganya murah, terus banyak yang bilang enak," ujarnya. Namun, kini penjualan menurun tajam dan ia berharap ada solusi cepat dari pihak perusahaan.

Di sisi lain, Rina, pedagang roti lainnya, tetap optimis meskipun isu ini beredar luas. "Sudah dengar terkait itu di media sosial. Kalau aku sendiri sih cuma berjualan saja, jadi kurang tahu soal itu-itu. Kan ini juga ada logo BPOM ya seharusnya aman ya," kata Rina. Ia berharap konsumen tetap percaya pada produk yang telah memiliki izin resmi dan tidak mudah terpengaruh oleh isu yang belum tentu benar.

Meski PT Indonesia Bakery Family berusaha meyakinkan masyarakat dengan izin BPOM yang dimiliki, langkah ini terlihat kurang efektif. Perusahaan ini seolah-olah mengabaikan dampak psikologis dari isu yang berkembang. Penggunaan logo BPOM sebagai tameng tidak cukup untuk mengatasi kekhawatiran yang telah mengakar di benak konsumen. Seharusnya, perusahaan mengambil langkah proaktif dalam memberikan bukti nyata dan transparan terkait keamanan produk mereka.

Selain itu, kehadiran Kemas Ahmad Yani sebagai perwakilan hukum perusahaan yang sekadar memberikan pernyataan formal, tanpa adanya tindakan konkret seperti kampanye edukasi publik atau uji independen, menunjukkan kurangnya keseriusan perusahaan dalam menangani masalah ini. Konsumen butuh lebih dari sekadar kata-kata; mereka butuh tindakan nyata dan bukti yang dapat meredakan kekhawatiran mereka.

Menurut pengamat industri makanan, Dr. Hendra Wijaya, isu seperti ini bisa sangat merugikan jika tidak ditangani dengan baik. "Transparansi dan komunikasi yang baik dengan konsumen adalah kunci utama. Perusahaan harus segera memberikan klarifikasi dan bukti-bukti bahwa produk mereka aman," ujar Dr. Hendra. Ia juga menambahkan bahwa BPOM harus aktif dalam memberikan penjelasan kepada publik untuk menghindari kepanikan.

Kemas Ahmad Yani sendiri berkomitmen untuk terus memberikan informasi yang jelas dan akurat kepada masyarakat. "Kami akan bekerja sama dengan BPOM dan pihak terkait untuk memastikan bahwa produk kami tetap aman dan sesuai dengan standar yang berlaku. Kami juga akan mengadakan kampanye edukasi untuk memberikan pemahaman lebih lanjut kepada konsumen tentang keamanan bahan pengawet yang digunakan," pungkasnya.

Namun, langkah ini seharusnya sudah dilakukan sejak awal isu mencuat. Ketidakpekaan perusahaan terhadap keresahan konsumen menunjukkan kurangnya antisipasi dan respons cepat dalam manajemen krisis. Sebagai perusahaan besar, PT Indonesia Bakery Family harusnya lebih siap dalam menghadapi isu-isu seperti ini dengan strategi yang matang dan bukan sekadar janji-janji tanpa realisasi.

Dengan langkah-langkah yang tepat, PT Indonesia Bakery Family diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan konsumen. Namun, perjalanan menuju pemulihan ini tidak akan mudah dan memerlukan komitmen serta aksi nyata yang berkelanjutan.