OASEDATA - Dalam diskusi terbaru di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), pakar psikologi forensik Reza Indragiri mengemukakan pandangannya mengenai kasus Vina yang kontroversial. Reza menekankan perlunya penyelidikan ulang yang komprehensif terhadap kasus ini, dengan fokus utama pada bukti-bukti yang selama ini terabaikan.

Reza Indragiri menyoroti sejumlah kekurangan dalam penyelidikan awal kasus Vina, yang melibatkan tuduhan pembunuhan berencana berdasarkan Pasal 340 KUHP. Salah satu poin kritis yang disampaikan adalah ketidakjelasan mengenai bukti sperma yang diduga milik pelaku. "Bukti sperma tersebut belum pernah diperiksa secara menyeluruh," tegas Reza. Ia menyatakan bahwa hal ini merupakan elemen penting yang harus diusut sejak awal untuk memastikan keabsahan tuduhan terhadap terpidana.

Selain itu, Reza juga menggarisbawahi pentingnya pengujian terhadap samurai yang digunakan untuk menusuk korban. "Samurai tersebut tidak pernah dites DNA untuk mengetahui darah yang tertinggal," ujarnya. Menurutnya, pengujian DNA pada samurai ini bisa memberikan petunjuk krusial tentang siapa sebenarnya pelaku pembunuhan.

Tak hanya itu, Reza menekankan perlunya pemeriksaan mendalam terhadap bukti komunikasi elektronik yang mungkin dimiliki oleh para terpidana. Ia menyayangkan bahwa sejauh ini, bukti-bukti tersebut tidak pernah dibuka untuk umum. "Gawai para terpidana saat itu turut diperiksa, namun hasilnya tidak pernah dikeluarkan," jelas Reza. Pemeriksaan ini, katanya, bisa membuka wawasan baru mengenai motif dan rencana di balik kejahatan tersebut.

Dalam pandangan Reza, upaya pencarian kebenaran dalam kasus Vina justru lebih banyak dilakukan oleh terpidana dan pengacaranya. Mereka bekerja keras untuk menemukan bukti baru atau novum yang bisa digunakan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK). "Saat ini, yang bekerja keras adalah terpidana dan pengacaranya guna mendapatkan bukti novum baru," kata Reza. Ia menilai bahwa keadaan ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam sistem peradilan kita, di mana seharusnya aparat penegak hukum yang bertugas untuk mengungkap kebenaran.

Reza Indragiri pun menyarankan agar Mabes Polri membentuk Conviction Integrity Unit (CIU) yang bertugas untuk menyelidiki kembali kasus-kasus yang diragukan kebenarannya. "Mabes Polri perlu membentuk Conviction Integrity Unit untuk mengungkap kasus yang sebenar-benarnya," serunya. Menurutnya, CIU ini akan memastikan bahwa setiap keyakinan yang dijatuhkan berdasarkan bukti yang kuat dan adil, serta menghindari kesalahan dalam proses hukum.

Kritik keras Reza terhadap penanganan kasus Vina mencerminkan keprihatinan yang mendalam terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia. Ia menilai bahwa dalam kasus ini, justru terpidana dan tim pembelanya yang harus berjuang keras untuk membuktikan ketidakbersalahannya. "Seharusnya dalam kasus Vina, Mabes Polri yang proaktif, bukan hanya menunggu upaya dari terpidana," tegasnya.

Pernyataan Reza Indragiri ini menegaskan bahwa untuk mencapai keadilan yang sejati, diperlukan mekanisme yang adil dan transparan dalam penyelidikan kasus-kasus kriminal. Pembentukan CIU di Indonesia bisa menjadi langkah maju untuk memastikan bahwa setiap individu yang dituduh mendapatkan perlakuan yang adil dan proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.